Eko Nugroho (31) menggelar pameran tunggal bertajuk “Multicrisis is Delicious” di Galeri Semarang, Jawa Tengah, 8-22 November. Karya- karyanya yang banyak membongkar paradoks kehidupan sosial-politik di negeri ini semakin mengukuhkan posisi Eko sebagai seniman muda yang penting.

Oleh: Ilham Khoiri

eko-nugroho-1

“Cari Selamat? Ikuti Saja Gajah Ini” karya Eko Nugroho, di Galeri Semarang.
Foto: 1 Kompas/Ilham Khoiri

 

Begitu memasuki ruang pameran lantai pertama, pengunjung disambut pemandangan menggelitik. Ada dua patung gajah dari resin setinggi orang dewasa dengan punggung diselimuti mantel kuning. Mantel itu dihiasi beberapa gambar dan teks yang dibordir: aku ingin rasis, keseragaman adalah persaudaraan, perbedaan adalah masalah, kekerasan: agama, uang: tuhan.

Kedua gajah yang telah dipotong gadingnya itu berjalan beriringan di atas semacam matras bundar. Matras itu pun dipenuhi jejeran teks yang ditata memutar: kerusuhan, penculikan, rasis, illegal logging, Lapindo, krisis, premanisme.. Instalasi ini berjudul “Cari Selamat? Ikuti Saja Gajah Ini”.

Tak jauh dari situ, ada dua patung manusia yang hendak bersalaman, berjudul “It’s All about Coalition”. Satu orang menyodorkan tangan kanan yang mulus sambil menyimpan tangan kirinya yang berwujud capit besi. Satu orang lagi menyodorkan tangan kanan yang berupa kepala serigala hitam, sedangkan tangan kirinya berbentuk gergaji.

Naik ke lantai dua, pengunjung menemukan satu sudut dinding yang dicoreti huruf besar-besar berwarna merah berbunyi “turunkan moral”. Di bawah teks itu, ada patung manusia berkepala mirip tokoh komik belalang tempur. Dia duduk dengan kepala tertunduk lesu. Judul karya ini unik, “Revolusi? Bisa Bagi Rokoknya?”

Menyaksikan tiga karya itu, kita disedot untuk memasuki permainan sirkus yang menghibur sekaligus provokatif. Namun, lebih dari sekadar hiburan dan provokasi, seperti dipaparkan kurator pemeran Rifky Effendy, sirkus Eko menyimpan nilai-nilai menarik yang ingin dikomunikasikan. Jika dicermati, bukankah keanehan wujud sirkus itu sejatinya merefleksikan absurditas kehidupan kita sendiri?

Dua patung gajah tadi, contohnya, mencerminkan kehidupan bangsa yang hanya berputar-putar dalam jalinan masalah yang itu-itu saja, tanpa solusi. Patung dua orang bersalaman memotret tabiat munafik sebagian elite politik yang bersalaman di luar, tetapi diam-diam saling jegal. Teks turunkan moral menyindir kelompok-kelompok agama yang terus meneriakkan jargon-jargon moral, tetapi perangainya sendiri menafikan nilai-nilai etis itu.

Dengan cara berbeda-beda, karya-karya lain dalam pameran “Multicrisis is Delicious” yang didukung Ark Gallery Jakarta itu juga menyindir kontradiksi dalam tubuh bangsa ini. “Saya tidak mengada-ada. Semua gambaran krisis ini adalah rekaman dari peristiwa sehari-hari, yang kemudian saya ramu jadi karyaseni,” kata Eko.

 

Membuka diri

Bagaimana Eko merekam krisis itu? Lelaki kalem ini memilih tinggal di Dusun Jeblog, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Bantul. Di perkampungan Jawa yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta itu, dia menyewa lima rumah sekaligus. Dua rumah untuk kegiatan bordir, satu rumah untuk studio kotor, satu untuk simpan karya jadi, dan satu rumah lagi untuk ditinggali keluarga.

Eko berusaha menyempatkan diri berbaur dengan masyarakat setempat. Dia ikut jagongan di gardu ronda, nongkrong bersama petani di sawah, arisan, atau menghadiri hajatan di kampung. “Saya selalu membuka diri sambil mencermati persoalan sehari-hari yang digelisahkan warga,” paparnya.

Persoalan-persoalan itu lantas disaring lagi untuk dikentalkan jadi gagasan karya. Saat ini, misalnya, Eko tengah mengamati berbagai budaya yang merasuki warga kampung. Ada budaya maya di televisi yang gemerlap dan materialis, budaya agraris di sawah yang pahit, budaya kerja buruh di pabrik yang keras, budaya birokrasi yang artifisial, atau budaya kebatinan Jawa yang sublim.

“Ketika semua budaya itu berbaur, lahirlah macam-macam kontradiksi. Ini inspirasi yang menarik,” katanya.

Soal bagaimana nanti mewujud gagasan ini dalam karya, Eko tak terpaku pada bentuk atau material. Semua bahasa visual bisa dicobai demi menemukan ungkapan yang tepat. Karyanya bisa berupa lukisan, patung, mural, instalasi, komik, video, atau kain bordiran.

Karya Eko menjadi lebih menarik karena dia piawai memainkan narasi, teks, simbol, ikon, atau humor jalanan. Semuanya diramu dengan gembira, tanpa beban, bersemangat mengolok- olok, atau malah dilambari hasrat untuk merayakan berbagai paradoks tadi. Multicrisis is delicious.

 

eko-nugroho-2

Foto: 2 Kompas/Ilham Khoiri
Eko Nugroho di tengah karyanya, “It’s All about Coalition”.

Komik

BERAWAL DARI JENDELA

Bagaimana Eko Nugroho tumbuh menjadi seniman dengan karya berkarakter komik? Ceritanya berawal dari jendela.

Eko, lahir 4 Juli 1977, tumbuh di kampung padat di kawasan tepian Sungai Code di Ledok, Prawirodirjan, Yogyakarta. Ekonomi orangtuanya pas-pasan. Tak ada televisi di rumah.

Kebetulan salah satu tetangga punya video player. Bersama anak- anak kecil lain, Eko senang mengintip lewat jendela yang sengaja dibuka saat tetangga itu memutar film. “Kalau film diputar pukul 19.00, kami berdesakan menunggu di dekat jendela sejak pukul 15.00,” katanya.

Dari jendela itulah, Eko mengenal tokoh-tokoh kartun. Pengalaman ini melekat dalam imajinasinya. Ketika belajar di Sekolah Mengah Seni Rupa (SMSR), lalu meneruskan ke Jurusan Seni Lukis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, imajinasi itu muncul kembali. Dari gaya komikal inilah karya-karya seni rupanya berangkat.

“Sosok-sosok robotik pas untuk menggambarkan manusia yang mirip mesin dalam dunia industri atau orang-orang Indonesia yang perangainya aneh-aneh,” paparya.

Sayang karya-karya macam itu tak begitu dapat tempat di ruang- ruang galeri mapan di Yogyakarta kala itu. Tahun 2000, bersama teman- teman lain, Eko membentuk The Daging Tumbuh dan menjadi presidennya. Kelompok ini mengumpulkan karya para seniman muda yang dibuat di atas kertas, menggandakannya dengan teknik fotokopi, menjilidnya jadi semacam majalah, dan mengedarkannya.

“Selain komik, kami membuat mural di jalan. Kami menciptakan ruang alternatif untuk berpameran,” katanya.

Apresiasi terhadap karya Eko tumbuh. Tahun 2002, dia berpameran tunggal dengan tajuk “Bercerobong” di Cemeti Art House, Yogyakarta. Mural, lukisan, dan dioramanya yang punya spirit street art atau seni jalanan dianggap menyuntikkan warna segar bagi seni rupa di Indonesia.

Reputasi Eko tambah meningkat. Seniman ini getol bereksperimen demi memperbarui gagasan, visual, dan penyajian karya. Hingga kini, sudah 13 kali dia berpameran tunggal. Setelah Heri Dono, agaknya Eko- lah satu-satunya seniman muda yang paling sering mengikuti kegiatan seni rupa (pameran, proyek seni, atau residensi) di mancanegara. Dia pernah tinggal dan berkarya seni di Finlandia, Australia, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Taipei, dan Malaysia.

Kenapa karya Eko Nugroho menarik bagi kalangan seni rupa di luar negeri? “Karyanya bisa menangkap kompleksitas masalah lokal di Indonesia dan disajikan dengan visi global,” kata Eddie Hara, seniman Indonesia yang tinggal di Swiss, yang kebetulan mengunjungi Galeri Semarang beberapa waktu lalu.(iam)
Sumber:

KOMPAS Minggu, 16-11-2008. Halaman: 027