Catatan Akhir Tahun 2013 tentang Civil Society

Oleh Ilham Khoiri

Pada Orde Baru dulu, civil society mengorganisir diri dalam berbagai organisasi demi melawan pemerintahan otoriter. Kini, pada Era Reformasi yang demokratis, individu atau komunitas di negeri ini bebas bersuara, mengkritik, bahkan memengaruhi perubahan. Kecanggihan media sosial di dunia maya dimanfaatkan untuk menggalang aksi di dunia nyata.

Ingat saja gerakan publik untuk melawan kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Oktober 2012. Suatu malam, Polda Bengkulu mengepung kantor KPK untuk menangkap Novel Baswedan, penyidik kasus dugaan korupsi dalam pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Tersulut rentetan kicauan di Twitter, publik berdatangan ke kantor komisi itu di Kuningan, Jakarta, untuk memberi dukungan.

Lewat situs change.org, publik menggalang petisi agar kasus simulator SIM ditangani KPK, bukan Polri. Ada sekitar 15.000 penandatangan. Saat bersamaan, mereka menggelar unjuk rasa besar di Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, didesak untuk segera turun tangan menyelamatkan KPK.

Publik di jalanan serta para internet citizen (netizen) di seluruh Indonesia sama-sama menggugat: “Di mana, SBY”. Tak lama, Presiden Yudhoyono pun muncul dan menginstruksikan seluruh penyidikan kasus simulator SIM diserahkan pada KPK. Kita tahu, awal September 2013, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akhirnya menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta kepada mantan Direktur Korlantas Polri, Irjen Djoko Susilo.

Dalam kasus lain, awal Januari 2013, hakim Daming Sunusi, melontarkan pernyataan yang melecehkan korban pemerkosaan saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan Hakim Agung di Komisi III DPR RI. Selebritis Melani Subono memrotes dan menuntut hakim itu minta maaf. Digalang lewat Twitter dan petisi di situs change.org yang dapat dukungan luas, Daming gagal menjadi Hakim Agung.

Simak pula cerita seorang tunanetra Trian Airlangga, September 2013. Bank BCA menghambatnya membuka rekening lantaran tak bisa membaca. Dia protesnya lewat media sosial disokong publik. Hanya dalam waktu tiga hari, bank itu memperbolehkannya membuka rekening.

Kita bisa perpanjang lagi daftar gerakan publik lewat jejaring media sosial yang mampu mengubah keadaan. Gejala ini lanjutan dari “Koin untuk Prita” yang sukses mendukung Prita Mulyasari untuk melawan kriminalisasi oleh RS Omni Internasional tahun 2009. Begitu pula “Gerakan Sejuta Facebookers” yang menyokong pimpinan KPK Bibit Somad Riyanto, dan Chandra Hamzah, yang dikriminalkan oleh kepolisian dalam kasus “Cicak vs Buaya” tahun 2009.

Change.org lantas mencoba mengorganisir kekuatan semacam itu. Ribuan petisi difasilitasi untuk memperkuat gerakan antikorupsi, pelestarian lingkungan, kemanusiaan, layanan publik, atau masalah buruh migran. Inisiatornya dari komunitas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), selebritis, atau warga biasa. Tuntutan disuarakan dan dipertemukan dengan pengambil kebijakan.

Menurut Direktur Kampanye Change.org Usman Hamid, sejak dibuka tahun 2012 sampai sekarang, sudah sekitar 6.000 petisi diluncurkan. Sebanyak 20 petisi di antaranya dinyatakan berhasil karena tuntutannya dipenuhi oleh pemerintah, perusahaan, atau pihak-pihak pembuat kebijakan lain. Anggota komunitas ini sudah 387.000 orang.

“Seseorang atau komunitas apa saja dan di mana saja kini lebih percaya diri untuk mendorong perubahan sosial. Ini gerakan masyarakat sipil baru di luar media massa arus utama, LSM, atau partai politik. Gerakan di dunia maya bisa beririsan dengan realitas di dunia nyata, bahkan bisa memengaruhinya,” katanya.

Modus segar
Gerakan masyarakat sipil lewat media sosial semakin menjadi fenomena menjanjikan. Di tengah derasnya demokratisasi, perkembangan ini menawarkan modus-modus segar sekaligus menantang kreativitas. Revolusi teknologi kian mempercanggih komunikasi, penggunanya terus bertambah, dan memungkinkan interaksi secara langsung, seketika, dan massal. Setidaknya itu tercermin dari dinamika twitter, facebook, blog, website, skype, youtube, bahkan blackberry messenger (BBM).

Menurut peneliti politik Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philip J Vermonte, organisasi masyarakat sipil dapat memanfaatkan media sosial untuk memperlancar, memperkuat, dan memperluas gerakannya. Soalnya, bersamaan proses otonomi daerah setelah Reformasi, problem-problem penyelenggaraan negara juga menyebar ke daerah-daerah. Korupsi, kebijakan merugikan publik, atau pelanggaran HAM kini juga berlangsung di provinsi, kabupaten, atau kota.

“Lewat media sosial, isu-isu lokal di pelosok daerah sangat mungkin digalang agar dapat perhatian dan penyelesaian secara nasional. Individu atau kelompok masyarakat bisa menjadi bagian dari gerakan, tanpa harus menjadi aktivis,” katanya.

Jika dikelola secara baik, dalam jangka panjang kondisi ini bisa mendorong terciptanya masyarakat sipil yang sehat. Masyarakat yang semakin mandiri, otonom, saling berinteraksi, menghargai, berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik, dan bersama membangun peradaban unggul. Pertukaran bermacam gagasan dan aktivisme bakal memperkuat demokrasi.

Jangan hanya rewel
Fenomena gerakan civil society lewat media sosial mendorong daya nalar publik semakin mandiri dan individu semakin berdaulat. Meski masih hidup, lembaga-lembaga tradisional tak lagi menentukan. Siapa pun yang mampu mengakses media sosial bisa langsung menyuarakan aspirasinya dan bisa bersentuhan pihak-pihak pengambil kebijakan—yang juga kian aktif dalam komunikasi netizen.

Namun, gejala ini juga menyimpan persoalan. Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet, menengarai, ekspresi sebagian kelas menengah yang aktif dalam perbincangan di media sosial kerap masih sebatas “rewel,” atau hanya mengulik soal-soal pribadi. Keleluasaan komunikasi internet justru kerap menciptakan perbincangan yang gaduh, konyol, banal, atau pertengkaran hal-hal sepele. Belum lagi muncul nama-nama anonim, manipulasi informasi, pencitraan, atau sikap tak bertanggung jawab.

Persoalan lain, dunia digital mempermudah komunikasi, tapi sekaligus membangun jarak dari dunia nyata. Terkadang seseorang merasa sudah terlibat dalam gerakan perubahan dengan hanya meng”klik” pesan, petisi, atau menyebarkan informasi tertentu. Padahal, banyak hal yang perlu campur tangan langsung.

“Sebagian orang rajin nge-tweet dari pagi sampai malam. Tapi, giliran dituntut untuk datang ke TPS (tempat pemungutan suara) untuk mencoblos dalam Pemilu atau pilkada, malah tidur,” katanya.

Kesadaran meng”klik” itu harus ditransformasikan menjadi aksi politik nyata di lapangan. Media sosial itu hanya sarana, bukan tujuan. Konsolidasi, organisasi, atau pertemuan-pertemuan fisik secara langsung tetap diperlukan untuk menciptakan masyarakat sipil yang sehat dan mendorong perubahan lebih baik.

Sumber:
Kompas, Senin, 16 Desember 2014