Catatan Peringatan 500 Tahun Sunan Kalijaga

Oleh Ilham Khoiri

Alun-alun Utara di depan Keraton Ngayogyakarta, Sabtu (30/7) malam itu, dipenuhi ribuan orang. Tiduran di atas tikar, duduk di kursi, di atas sepeda motor atau sepeda, bahkan berdiri, mereka menonton pergelaran wayang kulit. Lakonnya, ”Pandhawa Muksa”.

Ketika udara kian dingin pada Minggu dini hari itu, cerita kian menukik pada kehidupan Puntadewa, tokoh Pandhawa dalam epik Mahabharata. Dikisahkan, raja dari Astina itu lama hidup sendirian karena sulit meninggal. Dia menemui Sunan Kalijaga untuk mencari sarana menuju alam baka, yaitu mendengar bacaan Jamus Kalimasada.

”Jamus meniko seratan suci wonten agama kulo, enggih meniko kalimat syahadat (Jamus ini adalah catatan suci dalam agama saya, yaitu kalimat syahadat),” jawab Sunan Kalijaga, sembari melafalkan dua kalimat syahadat (kesaksian akan Allah dan Muhammad sebagai rasul). Konon, begitu mendengar itu, Puntadewa akhirnya meninggal dengan tenang.

Lakon ”Pandhawa Muksa” adalah bagian akhir dari 11 lakon dalam rangkaian pergelaran wayang kulit di Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta. Semuanya mengangkat cerita yang dipercaya sebagai kreasi Sunan Kalijaga, salah satu Wali Sanga yang berdakwah Islam di tanah Jawa sekitar abad ke-16 Masehi. Umumnya cerita itu carangan alias pengembangan baru dari pakem asli wayang kulit itu.

”Tak ada cerita Jamus Kalimasada dalam lakon asli. Itu kreasi Sunan Kalijaga demi memasukkan napas Islam dalam cerita wayang kulit,” kata Ki Seno Nugroho, dalang dalam pergelaran itu.

Meski dikaitkan dengan ajaran Islam, lakon itu tetap enak ditonton karena mempertahankan unsur-unsur drama. Beberapa tambahan itu justru memberikan nuansa menyegarkan. Lihat saja kemunculan punakawan di tengah lakon—yang juga dipercaya hasil tambahan— yang selalu membuat penonton gergeran (tawa berderai-derai).

Pergelaran wayang tadi menjadi bagian penting dari perhelatan peringatan ”500 Tahun Sunan Kalijaga” di Yogyakarta, 18-31 Juli lalu. Selama 19 hari, masyarakat disuguhi berbagai ekspresi budaya yang bersumber dari gagasan, kreasi, dan kearifan wali yang kerap digambarkan pakai udeng-udeng itu. Ada laku spiritual, tahlilan, pentas seni, diskusi, seminar, suluk, dan semaan Al Quran.

Toleran dan arif

Ada apa dengan Sunan Kalijaga sehingga perlu diperingati saat ini? ”Sunan Kalijaga berperan penting dalam membentuk karakter Islam di Jawa, bahkan Nusantara, yang lentur, toleran, dan penuh kearifan,” kata M Jadul Maula, ketua panitia pengarah kegiatan ini.

Tokoh bernama asli Raden Sahid (diperkirakan hidup di Demak, Jawa Tengah) itu adalah arsitek budaya Islam Jawa. Terlepas dari mitos atau legenda yang menyertai, dia telah meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat yang harmonis, produktif, dan kreatif di antara berbagai kelompok yang berbeda suku, bahasa, dan keyakinan. Dari tangan wali yang seniman ini, tumbuh wajah Islam kultural: moderat, lentur, dan menyerap beragam ekspresi budaya lokal.

Bukan hanya lakon wayang, dia juga diyakini sebagai pencipta tembang ”Lir Ilir” yang terkenal itu. Tradisi tahlilan, sulukan, sedekah bumi, bahkan arsitektur masjid yang bernuansa Jawa juga kerap dikaitkan dengan spirit dakwahnya.

Beragam ekspresi budaya lokal tak diharamkan, tetapi justru dikembangkan menjadi berwajah baru dengan menyisipkan nilai-nilai kearifan agama. Sebagian tradisi itu masih terus dijadikan sumber inspirasi masyarakat hingga sekarang.

Mau buktinya? Mari kita tengok Kampung Sorowajan dan Plumbon di Banguntapan, Kabupaten Bantul. Masyarakat di kawasan sebelah timur-selatan dari pusat Kota Yogyakarta itu termasuk majemuk. Meski sebagian besar penduduknya Muslim, kelompok agama lain bebas menjalankan keyakinan dan ibadah, seperti Hindu, Buddha, Katolik, dan Kristen.

Di tengah kampung, ada Masjid Al Muhtadin dan madrasah ibtidaiyah. Di depannya, ada Pura Jagatnatha, milik kaum Hindu. Beberapa warung Bali berjejer di dekatnya. Tak jauh dari situ, ada SD Kanisius dan SD Muhammadiyah.

Berbagai kelompok agama itu hidup rukun, bahkan punya tradisi doa bersama. Setiap menjelang bulan puasa, rutin digelar nyadranan atau semacam kenduri massal. Setiap keluarga datang ke balai dusun sambil membawa ambengan berisi makanan, lauk, jajanan, beserta ubo rampe lainnya.

Setelah berkumpul, dilantunkan doa bersama oleh setiap tokoh agama sesuai tata cara dan bahasa agamanya sendiri-sendiri. ”Ambengan tadi lantas ditukar-tukar. Sebagian dimakan di tempat, sisanya dibawa pulang,” kata Sularto, Kepala Dukuh Sorowajan.

Saat perayaan hari keagamaan, masyarakat leluasa memberi selamat atau berkunjung. Lebaran, Natal, Kuningan, dan Galungan menjadi momen untuk mempererat silaturahim. Pernah beberapa kali muncul sedikit gesekan, tetapi selalu bisa dipecahkan dengan kembali merujuk pada semangat saling pengertian. ”Rukun itu membuat hidup lebih enak,” kata Achir Murtiadiwiyono, Pinandeta Pura Jagatnatha. Bahkan, lelaki itu ikut membangun Masjid Al Muhtadin di belakang pura.

Kampung Sorowajan cukup bisa mewakili semangat Islam kultural di Jawa. Meski mungkin tak dicatat resmi, sebenarnya harmoni kehidupan semacam itu mencerminkan spirit dakwah Sunan Kalijaga.

Bagi pengajar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Abdul Munir Mulkhan, pendekatan wali itu mudah diterima dan tetap hidup sampai sekarang karena mengembangkan agama dalam konteks budaya dan kemanusiaan. Dasarnya adalah rasa empati terhadap sesama, menghargai perbedaan, dan toleran. Warna Islam-nya lebih sufistik, santun, terbuka, bahkan dibungkus ekspresi seni yang indah.

Semangat semacam itu, lanjut Mulkhan, selalu diperlukan bagi kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk. Apalagi, belakangan kian menguat gerakan radikalisme yang merasa benar sendiri dan mengajarkan agama dengan paksaan, bahkan kekerasan.

Sumber: Kompas, 19 Agustus 2011